Pages

Sunday, 24 May 2015

SOSIOLOGI KESEHATAN : PAPER HUBUNGAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN DAN PERAWAT

HUBUNGAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN DAN PERAWAT
Paper ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Kesehatan Tahun 2014







Disusun Oleh :
DEVY LAKSMITA
G1B014104


  

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014



A. HUBUNGAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN

1.      Latar Belakang
Hubungan dokter dengan pasien telah diketahui sejak zaman dahulu sebagai suatu komponen yang krusial dalam dunia kedokteran, yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan. Keterampilan untuk mempertahankan hubungan baik dengan pasien adalah suatu prasyarat dsalam praktik kedokteran klinik dan merupakan komponen yang diperlukan untuk manajemen pasien. Hubungan dokter dengan pasien yang mendekati sempurna adalah dokter yang berpengetahuan luas, baik hati, serta yang sungguh-sungguh merawat pasien dan memberikan petunjuk tentang pengobatan dengan bersikap hormat, dapat dipercaya dan menyenangkan pasiennya. Kenyamanan pasien membuat kepercayaan tersendiri kepada dokter dalam mengemukakan segala masalah sehingga dokter dapat menggali lebih banyak faktor psikososial yang mungkin melandasi timbulnya penyakit. Pasien dapat berdiskusi tentang penyakitnya dan mendapat penjelasan sesuai dengan tingkat pendidikannya.
     Dalam kasus penentuan treatment untuk proses penyembuhan atau penyehatan kondisi seseorang, posisi dokter berada pada tingkat “superior”. Khusus dalam konteks pemilihan obat yang ditunjukkan dalam bentuk “resep dokter”, seorang pasien hampir tidak pernah memiliki reaksi yang signifikan terhadap usulan dokter. Ini merupakan sebuah ciri bahwa relasi kekuasaan antara dokter dengan pasien sangat tidak seimbang. Kendali yuridis formal hubungan dokter dengan pasien merupakan hubungan antara subjek hukum yang kedudukannya sederajat, namun secara sosiopsychologis hubungan dokter dengan pasien tidak seimbang. Pasien tidak mengetahui kemungkinan yang dapat terjadi, seperti adanya kesalahan dalam memberikan obat, ketepatan resep, serta pilihan obat yang tepat. Sehingga muncul sebuah pertanyaan: “Akankah seorang dokter mampu jujur dan tepat dalam memberikan obat kepada pasien?”.


2.      Hubungan antara Dokter dengan Pasien
Dokter dengan pasien adalah dua unsur manusia yang saling berhubungan selama mereka masih terkait dalam suatu hubungan timbal-balik pelayanan kesehatan. Hubungan dokter dengan pasien cukup bervariasi, tergantung konteks yang mendasari hubungan.

2.1. Penyebab Hubungan Tidak Seimbang
Penyebab terjadinya hubungan yang tidak seimbang antara dokter dengan pasien ini adalah perbedaan pengetahuan mengenai sehat-sakit dan posisi pasien sebagai orang yang membutuhkan bantuan dokter yang menyebabkan posisi pasien menjadi individu yang ada di bawah (subordinasi) dokter.
Terhadap kondisi ini, Daldiyono memberikan keterangan tentang pentingnya usaha pendidikan kesehatan kepada pasien sehingga pasien dapat memposisikan diri sebagai pasien dihadapan dokter. Sehingga akhirnya hubungan dokter dengan pasien lebih diposisikan sebagai posisi sederajat dan hanya berbeda dalam konteks hak dan kewajiban.
         
2.2. Peranan Penting antara Dokter dengan Pasien
Secara umum dalam menangani suatu penyakit diperlukan dua cara pendekatan, yaitu dengan pendekatan ilmiah murni dan pendekatan psikososial.[1] Jika dilibatkan dengan konteks ketidakmengertian pasien mengenai obat-obatan, maka peran istruksi (resep dokter) menjadi sangat efektif. Artinya dapat disetujui bahwa pada saat pasien tidak memiliki wawasan yang cukup mengenai sifat atau jenis obat, maka keputusan sepihak dari dokter menjadi sangat penting.
Sikap kritis atau upaya berpikir cerdas dari seorang pasien sangat dibutuhkan saat dokter memberikan ususlan untuk melakukan operasi terhadap penyakit yang dideritanya. Masyarakat mungkin pernah mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, ucapan dokter yang menyuruh pasien untuk di-Rontgen atau di operasi. Perintah dokter ini, bukan tanpa argumentasi. Dengan pemahaman, kewenangan, dan statusnya sebagai dokter, dia dapat menjelaskan alasan pentingnya di operasi ataudi-Rontgen dan mereka pun dapat mengatakan bahwa bila tindakan tersebut tidak dilakukan, maka proses penyembuhan akan sulit dilakukan.
Secara sederhana Daldiyono (2007:191-197) menyebutkan ada empat teori hubungan antara dokter dengan pasien, yaitu :
1)      Hubungan dokter dengan pasien bersifat religius, misalnya dilandasi kesadaran bahwa pengobatan itu bagian dari kegiatan agama.
2)      Hubungan dokter dengan pasien yang bersifat paternalistik, yaitu memposisikanpasien sebagai orang yang butuh bantuan.
3)      Hubungan dokter dengan pasien yang bersifat penyedia jasa dan konsumen, serta
4)      Hubungan dokter dengan pasien yang bersifat kemitraan.

Sementara Szasz dan Hollender (dalam H. Soewono) mengatakan bahwa pola ubungan dokter dengan pasien itu dapat dilihat menjadi tiga, yaitu :
1)   Hubungan orang tua dengan anak, yaitu pasien yang masih perlu mendapat perlindungan dan pembelajaran hidup.
2)   Hubungan antara orang tua dengan remaja, yaitu pasien yang bisa diajak bicara, dan
3)   Prototype hubungan antarorang dewasa, yaitu pasien yang dianggap setara dan memiliki hak individu secara mandiri.


REFERENSI
Sudarma, Momon. 2012. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Sukardi, Elias. dkk. 2008. Modul Komunikasi Pasien-Dokter: Suatu Pendekatan Holistik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.



B. HUBUNGAN ANTARA DOKTER DENGAN PERAWAT

1.      Latar Belakang
       Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial yang juga merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang terkait dengan hubungan antara perorangan, antara kelompok manusia, maupun antara perorangan dan kelompok manusia[2]. Salah satu bentuk interaksi sosial adalah kerja sama yang kemudian berangsur menjadi suatu kolaborasi. Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney(2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
     Berbicara mengenai perawatan kesehatan, hubungan antara dokter dengan perawat pun menjadi satu fenomena sosial yang unik dan menarik untuk dicermati. Kedua elit kesehatan ini merupakan salah satu elemen tenaga kesehatan rumah sakit yang memiliki peran cukup signifikan dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Kendati demikian, ternyata pola-pola komunikasi antara dokter dengan perawat belum muncul sebagai bentuk hubungan profesi yang komunikatif atau pola komunikasi yang setara, seimbang, dan profesional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian, mempertajam pendirian profesional terhadap praktik kolaborasi. Menurut Anwar Kurniadi (Sinar Harapan:2004) dalam Momon Sudarma (2012:82) mengatakan bahwa dokter masih menunjukkan sikap hegemoninya dalam praktik kesehatan. Sementara peran perawat, masih kurang diuntungkan. Kondisi ini dalam konteks pendekatan layanan kesehatan kurang menguntungkan bagi usaha pembangunan budaya organisasi rumah sakit yang positif. Sehingga perlu diketahuinya faktor-faktor penyebab ketidakseimbangan interaksi antara dokter dan perawat.
                                                                                             


2.      Hubungan antara Dokter dengan Perawat
Hubungan dokter dengan perawat adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien.Perspektif yang berbeda dalam memendang pasien,dalam prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendalap sikologi keilmuan dan individual, faktor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.
            Selama hukum belum berubah, dokter biasanya yang menuliskan pesanan. Tapi otoritas utama atau perawatan menjadi bentuk yang lebih bersifat legal, bukan lagi determinan dari suatu hubungan.[3]
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika hubungan kolaborasi dokter dengan perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 Rumah Sakit melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berlangsung pada hasil yang dialami pasien (Kramer dan Schamalenberg, 2003). Sehingga terdapat hubungan kolerasi positif antara kualitas huungan dokter perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.

2.1   Faktor Ketidakseimbangan

Ketidakseimbangan interaksi antara dokter dengan perawat dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perawat pada umumnya adalah perempuan. Dalam ideologi patriarki atau maskulinitas, kaum perempuan akan tetap pada posisi sub-ordinat. Dari konteks analisis inilah, maka posisi perawat menjadi sangat lemah karena secara empiris mayoritas perawat adalah perempuan. Dalam memncermati perawat, menurut Anderson dan Foster (1986:225) ada tren membiaknya keinginan masyarakat untuk menjadi perawat. Gejala ini merupakan fenomena kemajuan dalam bidang layanan kesehatan. Namun demikian, fenomena ini menuntut perlunya pemberdayaan status perawat dengan kata lain pemberdayan perawat merupakan salah satu bagian dari istilah--Anderson dan Foster—pembebasan derajat perempuan.
Kedua, dilihat dari sisi pendidikan. Para perawat, khususnya di Indonesia, mayoritas berpendidikan D3 sedangkan para dokter miimal S1 ditambah dengan pendidikan profesi (spesialisasi). Oleh karena itu, kesenjangan jenjang pendidikan antara dokter dengan perawat ini memberikan ruang terjadinya sikap hegemoni atau arogansi dari pihak tertentu. Dalam menyikapi problem kedua ini, perlu adanya upaya strategis baik dari pemerintah maupun pengelola lembaga pendidikan, untuk memberikan layanan pendidikan kepada calon perawat secara lebih profesional dan lebih luas sehingga mampu “mengimbangi” pengetahuan dan keterampilan dokter. Misalnya dengan meningkatkan jenjang pendidikan keperawatan menjadi setara sarjana. Tanpa ada upaya seperti ini, posisi sub-ordinasi di lingkungan rumah sakit akan terus berkelanjutan.
Ketiga, kesenjangan relasi kekuasaan dokter dengan perawat terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh kedua profesi. Sampai detik ini, dokter adalah satu-satunya pemilik kewenangan untuk mengambil keputusan dalam penentuan sikap terhadap pasien. Semeentara perawat di posisikan sebagai orang yang berperan untuk merawat, memelihara pasien dan membantu tugas dokter. Seorang perawat tidak memiliki kemandirian dalam memberikan keputusan atau tidak memiliki peran dalam memberikan keputusan.

2.2   Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah terutama kesenjangan realasi kekuasaan dokter dengan perawat, Siegler dan Whitney (2000) menjelaskan pentingnya kemauan dari para pelaku layanan kesehatan untuk menerapkan pendekatan kolaboratif. Dengan mengutip pandangan Shortridge (dalam Siegler dan Whitney, 2000:2) yang menyatakan bahwa pendekatan kolaboratif menekankan tanggung jawab bersama dan manajemen perawatan pasien, dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisnya.
Perlunya demokratisasi kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah. Pertama, memberikan pendidikan kepada publik untuk mengetahui hak dan kewajibannya dalam praktik layanan kesehatan. Sehingga, hak-hak kesehatan mendapat perlindungan secara maksimal.
Kedua, perlu ada pendekatan kolaboratif antara dokter, perawat, dan pasien. Semua pihak tersebut merupakan orang yang memiliki peran dan tanggung jawab sama terhadap treatment yang akan diberikan kepada seorang pasien. Setiap dokter perlu berdiskusi pasien, dan perawat dalam menentukan treatment. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan kolaboratif yang proporsional, sehingga tuduhan malapraktik tidak anarkis, dan proses kesehatan publik dapat berjalan. Melalui pendekatan kolaboratif ini, secara perlahan masyarakat dididk untuk bersikap kritis terhadap masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan.
Ketiga, membangun komunikasi kesehatan yang manusiawi. Hubungan kesehatan manusiawi yang dimaksudkan adalah pola komunikasi yang memberikan ruang terbuka bagi setiap orang yang terlibat dalam transaksi terapeutik untuk menunjukkan hak dan kewajibannya. Sehingga wajah komunikasi kesehatan ini tidak terjebak menjadi komunikasi kesehatan yang kapitalis dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.


REFERENSI

Noorkasiani, Heryati, Rita Ismail. 2007. Sosiologi Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Siegler, Eugenia L. Dan Fay W. Whitney. 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter: Perawatan Orang Dewasa dan Lansia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sudarma, Momon. 2012. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika





[1] Sukardi, Elias. dkk. Modul Komunikasi Pasien-Dokter: Suatu Pendekatan Holistik(Jakarta:2008), hal 6.
[2]Noorkasiani, Heryati, Rita Ismail., Sosiologi Keperawatan (Jakarta, 2007), hal 4.
[3] Siegler, Eugenia L., dan Fay W. Whitney., Kolaborasi Perawat-Dokter : Perawatan Orang Dewasa dan Lansia (Jakarta, 2000), hal 4-5.

No comments:

Post a Comment