HUBUNGAN ANTARA DOKTER DENGAN PASIEN DAN PERAWAT
Disusun
Oleh :
DEVY
LAKSMITA
G1B014104
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU
KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
A. HUBUNGAN ANTARA DOKTER
DENGAN PASIEN
1. Latar
Belakang
Hubungan
dokter dengan pasien telah diketahui sejak zaman dahulu sebagai suatu komponen
yang krusial dalam dunia kedokteran, yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan
kesehatan. Keterampilan untuk mempertahankan hubungan baik dengan pasien adalah
suatu prasyarat dsalam praktik kedokteran klinik dan merupakan komponen yang
diperlukan untuk manajemen pasien. Hubungan dokter dengan pasien yang mendekati
sempurna adalah dokter yang berpengetahuan luas, baik hati, serta yang
sungguh-sungguh merawat pasien dan memberikan petunjuk tentang pengobatan
dengan bersikap hormat, dapat dipercaya dan menyenangkan pasiennya. Kenyamanan
pasien membuat kepercayaan tersendiri kepada dokter dalam mengemukakan segala
masalah sehingga dokter dapat menggali lebih banyak faktor psikososial yang
mungkin melandasi timbulnya penyakit. Pasien dapat berdiskusi tentang
penyakitnya dan mendapat penjelasan sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Dalam kasus penentuan treatment untuk proses penyembuhan atau
penyehatan kondisi seseorang, posisi dokter berada pada tingkat “superior”.
Khusus dalam konteks pemilihan obat yang ditunjukkan dalam bentuk “resep
dokter”, seorang pasien hampir tidak pernah memiliki reaksi yang signifikan
terhadap usulan dokter. Ini merupakan sebuah ciri bahwa relasi kekuasaan antara
dokter dengan pasien sangat tidak seimbang. Kendali yuridis formal hubungan
dokter dengan pasien merupakan hubungan antara subjek hukum yang kedudukannya
sederajat, namun secara sosiopsychologis hubungan dokter dengan pasien tidak
seimbang. Pasien tidak mengetahui kemungkinan yang dapat terjadi, seperti
adanya kesalahan dalam memberikan obat, ketepatan resep, serta pilihan obat
yang tepat. Sehingga muncul sebuah pertanyaan: “Akankah seorang dokter mampu
jujur dan tepat dalam memberikan obat kepada pasien?”.
2. Hubungan
antara Dokter dengan Pasien
Dokter
dengan pasien adalah dua unsur manusia yang saling berhubungan selama mereka
masih terkait dalam suatu hubungan timbal-balik pelayanan kesehatan. Hubungan
dokter dengan pasien cukup bervariasi, tergantung konteks yang mendasari
hubungan.
2.1.
Penyebab Hubungan Tidak Seimbang
Penyebab
terjadinya hubungan yang tidak seimbang antara dokter dengan pasien ini adalah
perbedaan pengetahuan mengenai sehat-sakit dan posisi pasien sebagai orang yang
membutuhkan bantuan dokter yang menyebabkan posisi pasien menjadi individu yang
ada di bawah (subordinasi) dokter.
Terhadap
kondisi ini, Daldiyono memberikan keterangan tentang pentingnya usaha
pendidikan kesehatan kepada pasien sehingga pasien dapat memposisikan diri
sebagai pasien dihadapan dokter. Sehingga akhirnya hubungan dokter dengan
pasien lebih diposisikan sebagai posisi sederajat dan hanya berbeda dalam
konteks hak dan kewajiban.
2.2.
Peranan Penting antara Dokter dengan Pasien
Secara
umum dalam menangani suatu penyakit diperlukan dua cara pendekatan, yaitu
dengan pendekatan ilmiah murni dan pendekatan psikososial.[1]
Jika dilibatkan dengan konteks ketidakmengertian pasien mengenai obat-obatan,
maka peran istruksi (resep dokter) menjadi sangat efektif. Artinya dapat
disetujui bahwa pada saat pasien tidak memiliki wawasan yang cukup mengenai
sifat atau jenis obat, maka keputusan sepihak dari dokter menjadi sangat
penting.
Sikap
kritis atau upaya berpikir cerdas dari seorang pasien sangat dibutuhkan saat
dokter memberikan ususlan untuk melakukan operasi terhadap penyakit yang
dideritanya. Masyarakat mungkin pernah mendengar, melihat, atau mengalami
sendiri, ucapan dokter yang menyuruh pasien untuk di-Rontgen atau di operasi.
Perintah dokter ini, bukan tanpa argumentasi. Dengan pemahaman, kewenangan, dan
statusnya sebagai dokter, dia dapat menjelaskan alasan pentingnya di operasi
ataudi-Rontgen dan mereka pun dapat mengatakan bahwa bila tindakan tersebut
tidak dilakukan, maka proses penyembuhan akan sulit dilakukan.
Secara
sederhana Daldiyono (2007:191-197) menyebutkan ada empat teori hubungan antara
dokter dengan pasien, yaitu :
1) Hubungan
dokter dengan pasien bersifat religius, misalnya dilandasi kesadaran bahwa
pengobatan itu bagian dari kegiatan agama.
2) Hubungan
dokter dengan pasien yang bersifat paternalistik, yaitu memposisikanpasien
sebagai orang yang butuh bantuan.
3) Hubungan
dokter dengan pasien yang bersifat penyedia jasa dan konsumen, serta
4) Hubungan
dokter dengan pasien yang bersifat kemitraan.
Sementara
Szasz dan Hollender (dalam H. Soewono) mengatakan bahwa pola ubungan dokter
dengan pasien itu dapat dilihat menjadi tiga, yaitu :
1) Hubungan
orang tua dengan anak, yaitu pasien yang masih perlu mendapat perlindungan dan
pembelajaran hidup.
2) Hubungan
antara orang tua dengan remaja, yaitu pasien yang bisa diajak bicara, dan
3) Prototype
hubungan antarorang dewasa, yaitu pasien yang dianggap setara dan memiliki hak
individu secara mandiri.
REFERENSI
Sudarma,
Momon. 2012. Sosiologi untuk Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Sukardi,
Elias. dkk. 2008. Modul Komunikasi
Pasien-Dokter: Suatu Pendekatan Holistik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
B. HUBUNGAN ANTARA DOKTER
DENGAN PERAWAT
1. Latar
Belakang
Bentuk umum proses
sosial adalah interaksi sosial yang juga merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang
dinamis yang terkait dengan hubungan antara perorangan, antara kelompok
manusia, maupun antara perorangan dan kelompok manusia[2].
Salah satu bentuk interaksi sosial adalah kerja sama yang kemudian berangsur
menjadi suatu kolaborasi. Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering
digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak
tertentu. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision (1977)
yang dikutip Siegler dan Whitney(2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu
menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek
perawatan kesehatan.
Berbicara mengenai perawatan kesehatan,
hubungan antara dokter dengan perawat pun menjadi satu fenomena sosial yang
unik dan menarik untuk dicermati. Kedua elit kesehatan ini merupakan salah satu
elemen tenaga kesehatan rumah sakit yang memiliki peran cukup signifikan dalam
memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Kendati demikian, ternyata
pola-pola komunikasi antara dokter dengan perawat belum muncul sebagai bentuk
hubungan profesi yang komunikatif atau pola komunikasi yang setara, seimbang,
dan profesional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama
ketidaksesuaian, mempertajam pendirian profesional terhadap praktik kolaborasi.
Menurut Anwar Kurniadi (Sinar Harapan:2004) dalam Momon Sudarma (2012:82)
mengatakan bahwa dokter masih menunjukkan sikap hegemoninya dalam praktik
kesehatan. Sementara peran perawat, masih kurang diuntungkan. Kondisi ini dalam
konteks pendekatan layanan kesehatan kurang menguntungkan bagi usaha
pembangunan budaya organisasi rumah sakit yang positif. Sehingga perlu
diketahuinya faktor-faktor penyebab ketidakseimbangan interaksi antara dokter
dan perawat.
2. Hubungan
antara Dokter dengan Perawat
Hubungan dokter dengan perawat adalah
satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan
bantuan kepada pasien.Perspektif yang berbeda dalam memendang pasien,dalam
prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik dalam melakukan
proses kolaborasi. Kendalap sikologi keilmuan dan individual, faktor sosial,
serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya
kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat
kepentingan pasien.
Selama
hukum belum berubah, dokter biasanya yang menuliskan pesanan. Tapi otoritas
utama atau perawatan menjadi bentuk yang lebih bersifat legal, bukan lagi
determinan dari suatu hubungan.[3]
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
banyak aspek positif yang dapat timbul jika hubungan kolaborasi dokter dengan perawat berlangsung baik. American
Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 Rumah Sakit
melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi
juga berlangsung pada hasil yang dialami pasien (Kramer dan Schamalenberg,
2003). Sehingga terdapat hubungan kolerasi positif antara kualitas huungan
dokter perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.
2.1 Faktor
Ketidakseimbangan
Ketidakseimbangan interaksi antara
dokter dengan
perawat dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perawat pada umumnya adalah perempuan. Dalam ideologi
patriarki atau maskulinitas, kaum perempuan akan tetap pada posisi sub-ordinat.
Dari konteks analisis inilah, maka
posisi perawat menjadi sangat lemah karena secara empiris mayoritas perawat
adalah perempuan. Dalam memncermati perawat, menurut Anderson dan Foster
(1986:225) ada tren membiaknya keinginan masyarakat untuk menjadi perawat.
Gejala ini merupakan fenomena kemajuan dalam bidang layanan kesehatan. Namun
demikian, fenomena ini menuntut perlunya pemberdayaan status perawat dengan
kata lain pemberdayan perawat merupakan salah satu bagian dari
istilah--Anderson dan Foster—pembebasan derajat perempuan.
Kedua,
dilihat dari sisi pendidikan. Para perawat, khususnya di Indonesia, mayoritas
berpendidikan D3 sedangkan para dokter miimal S1 ditambah dengan pendidikan
profesi (spesialisasi). Oleh karena itu, kesenjangan jenjang pendidikan antara
dokter dengan perawat ini memberikan ruang terjadinya sikap hegemoni atau
arogansi dari pihak tertentu. Dalam menyikapi problem kedua ini, perlu adanya
upaya strategis baik dari pemerintah maupun pengelola lembaga pendidikan, untuk
memberikan layanan pendidikan kepada calon perawat secara lebih profesional dan
lebih luas sehingga mampu “mengimbangi” pengetahuan dan keterampilan dokter.
Misalnya dengan meningkatkan jenjang pendidikan keperawatan menjadi setara
sarjana. Tanpa ada upaya seperti ini, posisi sub-ordinasi di lingkungan rumah sakit
akan terus berkelanjutan.
Ketiga,
kesenjangan relasi kekuasaan dokter dengan perawat terkait dengan kewenangan
yang dimiliki oleh kedua profesi. Sampai detik ini, dokter adalah satu-satunya
pemilik kewenangan untuk mengambil keputusan dalam penentuan sikap terhadap
pasien. Semeentara perawat di posisikan sebagai orang yang berperan untuk
merawat, memelihara pasien dan membantu tugas dokter. Seorang perawat tidak
memiliki kemandirian dalam memberikan keputusan atau tidak memiliki peran dalam
memberikan keputusan.
2.2 Pemecahan Masalah
Untuk
memecahkan masalah terutama kesenjangan realasi kekuasaan dokter dengan perawat,
Siegler dan Whitney (2000) menjelaskan pentingnya kemauan dari para pelaku
layanan kesehatan untuk menerapkan pendekatan kolaboratif. Dengan mengutip
pandangan Shortridge (dalam Siegler dan Whitney, 2000:2) yang menyatakan bahwa
pendekatan kolaboratif menekankan tanggung jawab bersama dan manajemen
perawatan pasien, dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada
masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisnya.
Perlunya
demokratisasi kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah. Pertama, memberikan pendidikan kepada publik untuk mengetahui hak
dan kewajibannya dalam praktik layanan kesehatan. Sehingga, hak-hak kesehatan
mendapat perlindungan secara maksimal.
Kedua,
perlu ada pendekatan kolaboratif antara dokter, perawat, dan pasien. Semua
pihak tersebut merupakan orang yang memiliki peran dan tanggung jawab sama
terhadap treatment yang akan
diberikan kepada seorang pasien. Setiap dokter perlu berdiskusi pasien, dan
perawat dalam menentukan treatment. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan
kolaboratif yang proporsional, sehingga tuduhan malapraktik tidak anarkis, dan
proses kesehatan publik dapat berjalan. Melalui pendekatan kolaboratif ini,
secara perlahan masyarakat dididk untuk bersikap kritis terhadap
masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan.
Ketiga,
membangun komunikasi kesehatan yang manusiawi. Hubungan kesehatan manusiawi
yang dimaksudkan adalah pola komunikasi yang memberikan ruang terbuka bagi
setiap orang yang terlibat dalam transaksi terapeutik untuk menunjukkan hak dan
kewajibannya. Sehingga wajah komunikasi kesehatan ini tidak terjebak menjadi
komunikasi kesehatan yang kapitalis dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
REFERENSI
Noorkasiani,
Heryati, Rita Ismail. 2007. Sosiologi
Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Siegler,
Eugenia L. Dan Fay W. Whitney. 2000. Kolaborasi
Perawat-Dokter: Perawatan Orang Dewasa dan Lansia. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sudarma, Momon.
2012. Sosiologi untuk Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika
[1] Sukardi, Elias. dkk.
Modul Komunikasi Pasien-Dokter: Suatu Pendekatan Holistik(Jakarta:2008), hal 6.
[2]Noorkasiani, Heryati,
Rita Ismail., Sosiologi Keperawatan
(Jakarta, 2007), hal 4.
[3] Siegler, Eugenia L., dan
Fay W. Whitney., Kolaborasi
Perawat-Dokter : Perawatan Orang Dewasa dan Lansia (Jakarta, 2000), hal
4-5.
No comments:
Post a Comment